Menjajal Oleh-Oleh Khas Notosuman

Serabi, siapa yang tak kenal dengan makanan satu ini. Di banyak daerah, serabi memiliki ciri khasnya masing-masing meskipun dengan kecenderungan bahan dasar yang sama yakni tepung beras dan santan. Kalau di daerah Jawa Barat-an, serabi bentuknya mirip dengan apem. Dagingnya jauh lebih tebal.  Beda dengan serabi di wilayah Solo dan sekitarnya, yang memiliki struktur daging yang jauh lebih tipis.

serabi notosuman
Serabi, Oleh-oleh khas Notosuman


 Bentuknya yang khas dengan pingiran tipis berwarna coklat, garing nan legit adalah pembeda utama antara serabi Solo dengan daerah lain. Putih warnanya, lembut teksturnya, gurih rasanya, namun ringan harganya, membuat makanan tradisional satu ini digemari banyak orang dari berbagai kalangan.

Jika mengunjungi kota Solo, icip-icip serabi tentu menjadi suatu kewajiban tersendiri, mengingat serabi merupakan salah satu panganan khas di kota Bengawan. Penjual serabi bakalan mudah sekali ditemukan kalau kita jalan-jalan di seputaran Solo, seperti halnya di pinggiran Slamet Riyadi maupun di beberapa pasar tradisional. Namun Notosuman, menjadi daerah di Solo yang paling terkenal akan serabinya.

Serabi Notosuman Ny Handayani dan Serabi Notosumn Ny. Lidia, adalah duo kakak beradik toko serabi paling terkenal di kota Solo. Meskipun ke dua toko serabi ini letaknya berhadap-hadapan yakni sama-sama di jalan M. Yamin, namun yang unik ke dua toko serabi ini sama-sama larisnya. Kalau masuk ke sana, selalu saja ke dua toko ini berasa kepenuhan pengunjung. Tentu saja ini tak mengherankan, mengingat ke dua toko ini sudah merintis dunia perserabian sejak lama. Apalagi, ditunjang dengan bentuk serabi mereka yang dikemas sedemikian hingga, sampai berkesan ‘profesional’. Harga yang sampai Rp. 2.500 per serabi  pun saya pandang layak untuk panganan satu ini mengingat kemasan dan rasanya yang memang pantas dan enak.


Dalam sebuah perjalanan mudik melewati kawasan Notosuman Solo, motor saya hentikan mendadak. Sebuah promosi serabi Rp. 1000 sukses menarik perhatian saya. Rupanya, di kawasan Jln. Gatot Subroto tak jauh dari lokasi serabi Notosuman yang sudah lebih dulu beken, terdapat penjual serabi yang katanya baru sekitar 3 minggu buka.

“Ini, beda dengan serabi yang disitu pak?” tanya saya pada si penjual.

“Beda, Mbak. Tapi ini sama-sama serabi khas notosuman,” senyum si bapak dengan ramahnya.

Saya kemudian membaca lagi plakatnya. Ahh, ya, beda. Ini memang bukan serabi notosuman, tetapi ini oleh-oleh khas Notosuman. Dan oleh-oleh khas dari daerah notosuman, tentu saja adalah serabi.

“Saya beli, Pak,” saya mulai mengeluarkan dompet. Baru saja saya hendak mengeluarkan uang, si Bapak sudah berkomentar.

“Wah, kalau mau beli harus jam 19.30. Ini lagi ada banyak pesanan, Mbak!” ujarnya membuat saya sedikit kecewa. Ia lantas menunjukkan tempelan kertas di kaca jendela yang begitu banyaknya. Tempelan berisi nama dan jumlah pesanan.

“Saya menyela nggak bisa, Pak? Saya masih harus mudik ke Wonogiri,” saya mencoba merajuk.

Si penjual menggeleng sembari terus menuang tepung ke tiap wajan kecil yang berjajar. Biasanya, saya kalau beli serabi tak pernah disuruh menunggu sampai sejam begini. Kalau antripun antri cuma beberapa saat. Entah kenapa, malam itu saya bersedia saja menunggu.

“Oleh-oleh Halal Solo Khas Notosuman, H. Oemar” begitu yang tertera di spanduk penjual serabi ini. Tempat yang mengambil nama dari nama ayah si penjual serabi ini tak berwujud toko. Tetapi semacam HIK serabi kalau menurut saya.

Penjual serabi ini tak lagi menggunakan arang.  Ia sudah lebih modern. Kompor-kompor gas dengan susunan pipa yang diikat rapi di bawah, lantas tungku diberi penyangga stenlis hingga wajan kecil bisa terpasang di atasnya menjadi alat pembuat serabinya.

Yang asyik di sini, adalah kita bisa duduk menunggu, sembari melihat langsung proses pembuatan serabi. Proses pembuatan serabi dilakukan oleh 4 orang. Bagian penuang tepung, penuang santan, pembersih wajan dan bagian packing.

Awalnya serabi dituang pada tiap-tiap wajan. Selanjutnya si penuang santan menuangkan santannya sembari mengaduk sebentar agar tepung dan santan bercampur lantas menutupnya. Setelah beberapa saat, wajan dibuka, serabi yang sudah matang disusun di tampah diserahkan pada bagian packing. Lantas kemudian wajan dilap, dan si penuang tepung kembali melanjutkan aksinya. Begitu seterusnya.

 “Oleh-oleh Halal Solo Khas Notosuman H. Oemar” buka mulai pukul 06.00. Promo serabi Rp. 1.000 ini menurut si penjual bakalan ia lakukan sampai nanti akhir tahun.  Meskipun baru saja dibuka, si penjual bercerita bahwa per harinya, ia sudah bisa menghabiskan 50 kg tepung. Sebuah jumlah yang cukup fantastis.

Melihat langsung pembuatan serabi begini jadi mengingatkan masa kecil saya. Dulu, kalau lagi ikut ke pasar Wonogiri, saya sering duduk menunggui penjual serabi. Kadang duduk di sana bukan untuk beli, cuma duduk sekedar melihat penuh penasaran, bagaimana caranya serabi pinggirannya bisa berwarna coklat, padahal tengahnya berwarna putih? Hanya seperti itu saja, saya dulu bisa sampai berjam-jam duduk di sana. Maka hari itu, kalau saya Cuma duduk menunggu sejam untuk dapat serabi, rasanya bukan masalah.

Tepat pukul 19.30, serabi saya sudah matang.  Meskipun packingnya masih tradisional, yakni tanpa digulung dan dengan kardus yang belum bermerk, tetapi serabi H. Oemar ini rasanya cukup enak. Tak mengecewakan, meskipun harganya seribu rupiah. Nah, buat kamu yang ingin menikmati serabi hangat sembari melihat proses pembuatannya, bisa datang langsung kemari. Lokasinya mudah dijangkau. Di Pinggir jalan, di dekat perempatan menuju Paparon Pizza. Mumpung sekarang masih promo.

You Might Also Like

0 comments

Semoga yang tersaji, bisa bermakna.

Kalau kamu suka dengan artikel ini, jangan lupa share & like fanspage gubug kecil sang entung di facebook

Terima Kasih :)